Terbitnya PP Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang merupakan revisi atas PP No. 34 tahun 2002 yang kemudian diterjemahkan lebih operasional melalui Permenhut Nomor P.37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) memberikan peluang kepada masyarakat yang sebelumnya mengakses kawasan hutan secara illegal atau tanpa izin. Dengan kata lain, kebijakan HKm dapat diposisikan sebagai upaya penyelesaian terhadap illegalitas akses petani miskin atas tanah kehutanan dalam jangka waktu tertentu menurut ketentuan yang ada.
Kebijakan HKm merupakan salah satu bentuk dari perhutanan sosial (social forestry) yang menempatkan hutan dan rakyat sebagai dua hal yang tak terpisahkan, yaitu bahwa hutan sebagai bagian dari rakyat dan sekaligus rakyat sebagai bagian dari hutan (Awang 2001). Selama ini banyak penelitian yang telah dilakukan masih menekankan pada konflik dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat lokal dan jawabannya adalah memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam bentuk ‘penguasaan tanah’ melalui legalisasi (Dipokusumo 2011, Asanga 2005, Humaidi 2006, dll). Tidak banyak penelitian yang menelaah lebih dalam bagaimana proses legalisasi okupasi tanah kehutanan oleh masyarakat desa yang semula adalah illegal, bentuk-bentuk organisasi sosial petani miskin yang berperan dalam proses legalisasi tersebut, dan dampak dari proses legalisasi akses masyarakat terhadap hutan bagi peningkatan pendapatan. Hal itulah yang dibahas dalam penelitian ini.
Penulis: Arya Ahsani Takwim
Kategori: Working Paper
Saran pengutipan:
Takwim, Arya Ahsani. Rakyat Dituduh Merambah sekarang Pemerintah Mengizinkan, Kertas Kerja Epistema No.05/2012, Jakarta: Epistema Institute.
Dowload: silakan klik di sini