Adat: Wajah Pluralisme Hukum Indonesia

Buku Adat dalam Politik Indonesia karya Jamie S. Davidson menjelaskan bagaimana adat bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga menjadi bagian penting dari dinamika politik dan hukum di Indonesia, terutama setelah reformasi. Menggunakan pendekatan sosiolegal, Davidson tidak melihat hukum sebagai teks formal saja, tetapi sebagai praktik sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan, ekonomi, dan relasi antar kelompok masyarakat.

Dengan cara pandang ini, adat dipahami sebagai sesuatu yang aktif dan dinamis, bukan sistem yang tetap. Ia bisa dinegosiasikan, dipolitisasi, bahkan diperebutkan oleh berbagai aktor lokal seperti elite adat, kepala desa, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, hingga negara. Adat bisa menjadi alat untuk melindungi masyarakat, memperjuangkan hak, atau bahkan memperkuat kekuasaan kelompok tertentu.

Davidson membagi analisisnya dalam tiga pilar utama. Pertama, adat sering digunakan sebagai alat politik, baik untuk memperjuangkan hak atas tanah maupun untuk mendapatkan posisi dalam struktur kekuasaan. Kedua, adat menjadi simbol penting dalam membentuk identitas kolektif, apalagi dalam konteks desentralisasi yang memberi ruang lebih besar bagi pengakuan budaya lokal. Ketiga, adat menjadi arena konflik antara negara dan masyarakat. Ketika negara mengakui adat lewat hukum formal, bisa saja hal ini justru membatasi otonomi masyarakat adat melalui aturan yang seragam dan tidak kontekstual.

Untuk memperkuat argumennya, Davidson mengangkat berbagai studi kasus dari berbagai daerah di Indonesia:

1. Bali

Di Bali, desa adat merupakan sistem hukum adat yang paling terorganisir dan memiliki legitimasi kuat, baik secara spiritual maupun administratif. Desa adat mengatur berbagai aspek kehidupan melalui hukum adat tertulis (awig-awig) dan lembaga adat seperti pecalang dan bendesa. Namun, dalam praktiknya, desa adat juga harus bernegosiasi dengan hukum negara, terutama dalam konflik ruang seperti pembangunan pariwisata yang mengganggu struktur sakral adat seperti pura dan sistem irigasi subak. Ini menunjukkan adanya benturan antara logika ekonomi, hukum formal, dan nilai adat spiritual. Bahkan, desa adat bisa menjadi alat kontrol sosial oleh elite lokal yang mengecualikan kelompok marjinal.

2. Sumatra Barat

Dalam masyarakat Minangkabau, adat sering dimanfaatkan oleh elite politik dan tokoh adat untuk memperkuat posisi mereka. Meskipun pemerintahan nagari dihidupkan kembali pascareformasi dan memasukkan unsur adat, dalam praktiknya, adat tidak selalu digunakan untuk melindungi masyarakat. Sebaliknya, ia bisa menjadi pembenaran atas keputusan sepihak yang menguntungkan elite, seperti dalam pembagian tanah atau kebijakan lokal.

3. Kalimantan

Komunitas Dayak di Kalimantan menggunakan hukum adat sebagai alat untuk melawan ekspansi perusahaan besar, seperti perkebunan sawit atau pertambangan. Adat menjadi instrumen legal dan simbolik untuk mempertahankan hak atas tanah leluhur dan menjaga ekosistem. Bahkan, komunitas adat menggunakan adat dalam gugatan hukum formal, menunjukkan bagaimana hukum adat bisa bersifat emansipatoris dan menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

4. Sulawesi

Di Sulawesi, banyak komunitas adat mencoba mengkodifikasi hukum adat agar bisa diakui secara formal oleh negara. Meskipun membuka peluang perlindungan hukum, proses ini membawa risiko penyederhanaan nilai adat yang kompleks dan kontekstual. Kodifikasi sering hanya merepresentasikan pandangan elite komunitas, bukan keseluruhan praktik adat yang beragam. Di sinilah tampak ambiguitas antara pengakuan negara dan otonomi komunitas.

Secara keseluruhan, Davidson menunjukkan bahwa hubungan antara hukum adat dan hukum negara di Indonesia sangat kompleks. Kadang mereka saling mendukung, tapi sering kali bertentangan, terutama dalam hal siapa yang punya kuasa atas tanah, ruang, dan keputusan publik. Adat bukanlah sistem hukum yang murni, tetap, atau netral. Ia bisa menjadi alat pembebasan masyarakat, tetapi juga bisa menjadi alat penindasan tergantung siapa yang menggunakannya dan dalam konteks kekuasaan seperti apa.

Buku ini memberikan pemahaman yang penting mengenai pluralisme hukum di Indonesia, yaitu keadaan di mana lebih dari satu sistem hukum hidup berdampingan seperti hukum negara, hukum adat, dan hukum agama. Davidson menunjukkan bahwa dalam praktiknya, sistem-sistem hukum ini tidak selalu cocok satu sama lain, dan seringkali malah menciptakan kebingungan, konflik, atau ketidakadilan.

Penulis: Laura Salma Afrianti