RUU Masyarakat Adat: Upaya Menjamin Kelestarian Hidup Masyarakat dan Lingkungan

Selasa (22/4), diskusi bertajuk “Diskusi Publik Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Bentuk Pengakuan Keadilan Dan Penghormatan Hak Bagi Masyarakat Adat”, dilaksanakan di Balai Sidang FH UI, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Diskusi ini terkait RUU Masyarakat Adat sebagai upaya penguatan advokasi untuk mendorong pengakuan serta pemenuhan Hak Masyarakat Adat melalui undang-undang.

Pada diskusi ini turut menghadirkan beberapa narasumber seperti Ratih Lestarini (Guru Besar Bidang Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ismala Dewi (Dosen Bidang Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Erwin Dwi Kristianto (HUMA dan Tim Substansi RUU MA), Luh Gede Saraswati Putri (Budayawan dan Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), Denny Bhatara (Senior Compaigner Kaoem Telapak) dan dimoderatori oleh Monalisa Jingga (Wartawan Antara) serta penanggap yaitu Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Ketua BEM FH UI)

Ratih Lestarini membuka diskusi dengan mengatakan saat ini momen yang tepat untuk mendorong percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Ia menyoroti bagaimana Masyarakat adat memandang tanah bukan hanya bersifat ekonomi, tetapi bersifat magis religius. “Dimana warisan dari leluhur dan alam menghidupi mereka”, ujarnya.

Ratih juga menyoroti soal prinsip masyarakat adat yang berharmoni dengan alam. “Pada dasarnya masyarakat tidak mau berkonflik, tetapi maunya selaras dalam menjalin hubungan manusia dengan alam”, tambahnya.

Selain itu, Ratih pun menekankan pentingnya peran negara untuk lebih terbuka dalam komunikasi dengan masyarakat adat, menghargai struktur sosial dan norma-norma adat yang memiliki sanksi sosial tersendiri.

ketidakcocokan antara hukum formal dan hukum adat seperti UU Agraria dengan pengakuan sosiologis oleh masyarakat adat harus dijembatani. “Hal ini untuk mencegah konflik berulang dan menciptakan keadilan”, tambah Ratih.

“Jika kita bisa menjebatani kesenjangan hukum atau kesenjangan komunikasi atau kesenjangan rasa keadilan, ini akan menciptakan UU yang sangat baik yang digunakan untuk masyarakat adat dilindungi hak-haknya”, tandas Ratih.

Ismala Dewi menyoroti soal perlindungan dan pengakuan yang berkaitan dengan masyarakat adat seperti hak atas keberadaan wilayah adat, termasuk sumber daya alam, dan mendukung penerapan hukum adat yang menjaga lingkungan hidup. “Sehingga tercipta keberlangsungan ketersediaan air dan lingkungan hidup yang berkelanjutan bagi Masyarakat adat”, kata Ismala.

Ismala pun membahas soal permasalahan air masyarakat adat yang terpengaruh oleh perubahan iklim dan tekanan ekonomi. Menurut Ismala kondisi ini berdampak pada tergradasinya hak masyarakat adat atas air. “Dengan begitu perlu segera disahkan RUU Masyarakat Adat yang mengakomodasi pemenuhan hak masyarakat adat atas sumber daya air secara berkeadilan”, kata Ismala.

Dari sudut pandang filsafat, Luh Gede Saraswati Putri mengungkapkan perlu adanya rekognisi terhadap Masyarakat adat. Menurut Saraswati, “ini merupakan bagian dari amanat konstitusi yang terhubung dengan pandangan universal tentang penghormatan terhadap martabat manusia melalui hak asasinya.”

Menurut Saraswati, Indonesia punya kebanggaan dalam keberagaman, tapi dalam praktiknya rekognisi terhadap keberagaman ini tidak terjadi secara mendalam. “RUU Masyarakat Adat Mengingatkan kita bahwa ekspresi budaya yang ada itu dihormati, dihargai dan dinikmati bersama sebagai satu bangsa dengan memperhatikan keadilan bagi masyarakat adatnya”, tambah Saraswati.

Erwin Dwi Kristanto mengungkapkan urgensi RUU Masyakat adat untuk disahkan. Hal ini untuk menghindari masalah-masalah yang berulang seperti konflik yang berujung pada degradasi eksistensi budaya masyarakat adat. Dalam catatan yang dihimpun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sudah terjadi 10 konflik yang melibatkan masyarakat adat pada Januari-Maret 2025. “Hilangnya tanah masyarakat adat juga berdampak pada hilangnya bahasa, UNESCO merilis data bahwa setiap dua minggu satu bahasa daerah hilang”, tambahnya.

Erwin melihat jika RUU Masyarakat Adat dapat memecahkan beberapa persoalan. Ada tiga hal yang menurut Erwin bisa diselesaikan yaitu mekanisme pengakuan masyarakat adat yang saat ini masih berbelit, konflik agraria yang selalu korban utamanya adalah perempuan dan anak, penyelesaian konflik secara terstruktur.

Denny Bhatara mengungkapkan upaya pentingnya memperjuangkan hak masyarakat lewat banyak cara. Selain menggunakan instrumen hukum, banyak LSM melakukan beragam upaya termasuk Kaoem Telapak.

Kaoem Telapak kini mengembangkan suatu sistem aplikasi bernama ground-truthed.id yang berfungsi mendokumentasikan berbagai kejadian konflik di banyak lokasi. Menurut Denny, “ini untuk membangun transparasi dan akuntabilitas para pihak dalam mengungkapkan kejahatan lingkungan serta meningkatkan kolaborasi para pihak.”.

Penulis: Laura Salma Afriyanti