Menanggapi Buku Panduan untuk Para Advokat Muda

Kamis (16/05), diskusi “Draft Panduan Advokasi Hukum” dilaksanakan di Kantor Epistema Institute, Bogor. Diskusi ini merupakan serangkaian acara dari Lingkar Belajar Advokasi Hukum (LeBAH) ketiga yang telah berlangsung sebelumnya. 

Sebagai pemapar draft, Asep Yunan Firdaus (Direktur Epistema Institute) mengatakan jika pertemuan kali ini untuk membahas draft buku panduan advokasi hukum. Pasalnya, buku ini diperuntukan bagi advokat muda sebagai rujukan praktek advokasi hukum yang menggunakan jalur litigasi maupun non-litigasi.

Selama ini, kerja-kerja advokasi yang sering kali dilakukan para aktivis pada organisasi non-pemerintah berupa kampanye, protes hingga demonstrasi. Namun, menurut Asep jalur advokasi yang penting dan jarang dilakukan saat ini adalah jalur hukum. 

“Jalur hukum sendiri merupakan advokasi yang menggunakan perangkat-perangkat hukum yang ada di Indonesia”, tambah Asep.

Di dalam draft itu dituliskan jika pilihan hukum saat ini memang belum menjadi pilihan utama para advokat karena dua hal. Asep mengatakan faktornya antara lain belum memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai substansi dan prosedur hukum; lalu ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum yang berlaku di Indonesia.  

Harus diakui, dalam menyelesaikan kasus lewat pengadilan maupun di luar pengadilan masing-masing memiliki risiko. Namun, risiko ini bisa dikurangi bahkan dihindari. Menurut Asep caranya adalah dengan menyiapkan diri. 

“Oleh karena itu, sebenarnya  buku panduan ini untuk menyiapkan diri masuk ke ruang advokasi baik di litigasi maupun non-litigasi”, kata Asep. 

Komentar Para Penanggap

Dalam diskusi pembahasan draft buku panduan advokasi hukum ini juga ada sesi tanya jawab dan pemberian masukan dari para praktisi maupun ahli.

Muhnur mengomentari isi dari draft buku panduan ini. Menurutnya, bisa dimasukan bahasan partisipasi masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar partisipasi masyarakat jadi pedoman agar diakui dalam pengambilan kebijakan pemerintah. “… karena ini cita-cita saya, atau mungkin cita-cita kita semua”, kata Muhnur.

Kedua, buku ini bisa memuat tentang kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sehingga laporan yang dilakukan masyarakat bisa ke PPNS yang lebih spesifik dan memahami konteks laporan masyarakat. “Jadi, masyarakat tahu jika ingin melakukan pelaporan tidak hanya ke polisi saja”, tambah Musnur. 

Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, mengusulkan agar buku ini juga membahas soal hak. Menurut Rudiansyah, pembahasan hak bisa dipakai untuk menjelaskan substansi hak masyarakat ketika berhadapan dengan kebijakan. 

Hal yang senada juga dikatakan Rahma dari Gemawan. Rahma mengatakan jika instrumen HAM perlu dimasukkan. “karena kasus-kasus di lapangan yang banyak dilanggar adalah HAM”, tandas Rahma.

Nurcholis Hidayat dari Lokataru Foundation mengomentari isi buku panduan ini. Menurutnya, buku panduan praktis harus berisi juga tahapan yang terstruktur dalam mengadvokasi. “Kalo (buku) untuk praktik itu ada planning dari awal sampai akhir itu kira-kira bakal seperti apa menjalaninya”, kata Nurcholis.

Frederik Pinakunary sebagai pengacara profesional, melihat kondisi sekarang yang sudah beda. Kasus-kasus yang berdimensi publik bisa mendapat simpati besar dari masyarakat luas. “Isu yang diadvokasi seperti masyarakat adat dan lingkungan bisa menarik simpati publik”, kata Frederik.     

Menurut Frederik strategi dengan memanfaatkan simpati publik ini bisa mempengaruhi keputusan hakim dan memberi tekanan pada peradilan. “Belakangan ada yang bilang no viral, no justice ya, walaupun itu seloroh kurang lebih adanya benarnya juga”, kata Frederick. 

Menurut Frederick, tinggal memaksimalkan informasi di media sosial untuk netizen akan berdampak pada perjuangan advokasi dalam tataran peradilan. 

Ansori sebagai hakim, memberikan catatan soal advokasi untuk para pelaku advokasi. Hal yang dimaksud adalah perlindungan untuk pelaku advokasi yaitu aktivis maupun masyarakat. 

Bertolak dari pasal 66 Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. “Di sana ada bentuk perlindungan dari pelaku advokasi”, tambah Ansori.  Menurut Ansori, para pelaku advokasi sering mengalami Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Strategi yang dipakai pihak lawan untuk mengkriminalisasi para pelaku advokasi.