Rabu (28/2), Pelatihan Leading The Change bertajuk “Konservasi Inklusif: Advokasi Berbasis Hak, Sensitivitas Konflik, dan Berperspektif Gender” kembali dilaksanakan. Para peserta kali ini mengunjungi obyek wisata Kalibiru, Kulon Progo.
Peserta diajak untuk melihat pengelolaan kawasan hutan oleh kelompok tani. Sadali, sebagai ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mandiri Kalibiru menceritakan kelompok tani ini bisa mengelola hutan negara. Usaha yang dilakukan adalah pengembangan jasa lingkungan antara lain pakan ternak, pupuk dan makanan kemasan.
Gagasan pengelolaan hutan di Kalibiru dengan cara berkelompok dimulai pada 2001. “Waktu itu, kami hanya menanami di wilayah milik masyarakat, dan ini membuahkan hasil” kata Sadali.
Dalam tuturan Sadali, sedangkan wilayah hutan milik pemerintah di Kalibiru pada periode 2000-an kondisinya tidak terawat. “Sering terjadi pembalakan oleh para pencuri dan orang dalam,” tambah Sadali.
Hal ini, membuat para petani Kalibiru berinisiatif untuk meminta pada pemerintah agar bisa mengelola wilayah hutannya. Hasilnya, keluarlah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dari Bupati Kulon Progo selama lima tahun. Kelompok tani ini berhak mengelola kawasan Hutan Negara seluas 29 hektare.
Awalnya Kalibiru itu statusnya Hutan Produksi lalu menjadi Hutan Lindung. Sadali mengatakan pada masa itu para petani berjuang menanam beragam bibit untuk nantinya dipanen. Namun, setelah berubah statusnya, pohon mereka tidak bisa diambil. “Hambatan ini alhamdulillah ada hikmahnya,” tandas Sadali.
KTH Mandiri ini pun merancang usaha lain agar bisa berdaya. “2008 akhirnya kami mengajukan proposal pengembangan ekowisata ke pihak pemerintah provinsi,” tutur Sadali. Selanjutnya KTH Mandiri membangun fasilitas wisata berupa dua joglo, empat gardu pandang, enam pondok, satu flying fox dan empat toilet.
Pasca erupsi gunung merapi menjadi titik balik pada pengembangan wisata di Kalibiru. Kalibiru mulai dikenal oleh masyarakat. “Di sana (Merapi) musibah, di sini (Kalibiru) berkah pada kelompok kami,” tambah Sadali.
Menurut Sadali, puncak kunjungan di Kalibiru terjadi pada 2016 ketika saat itu jumlah pengunjung mencapai 443.000. Akhirnya wisata Kalibiru sempat berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan ekosistem yang berkelanjutan di wilayah itu.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 seperti menjadi batu sandungan bagi Kalibiru. Menurut Sadali, “hal ini hampir terjadi pada semua usaha pariwisata termasuk Kalibiru”. Kini usaha KTH Mandiri Kalibiru merambah pada usaha makanan kemasan beberapa produk antara lain gula semut aneka rasa dan minuman dari empon-empon (tanaman rimpang).