Senin (16/10) berlangsung diskusi panel 5 Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serba Guna Senayan. Diskusi yang bertajuk “Kondisi Buruh di Sektor Industri Ekstraktif (Pertambangan, Perkebunan, Kehutanan dll)” dimulai pukul 13.30-16.30 WIB.
Dalam diskusi ini ada enam narasumber dari beragam latar belakang yaitu Unang Sunarno (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika), Marcellinus Andri (Serikat Petani Kelapa Sawit), Zidan (Sawit Watch), Sri Palupi (Ecosoc Rights), dan Syarif Arifin (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane).
Dalam panel 5 ini, para narasumber membahas soal industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan yang merupakan ruang kerja buruk dalam kehidupan para buruh di dalamnya. Kehidupan tak layak pada buruh di industri ekstraktif itu terlihat dari para pengusaha yang tak mau memberikan hak para buruh.
Pada penuturan Sri Palupi ada beberapa hak buruh yang harusnya dipenuhi oleh pengusaha di industri ekstraktif. Mulai dari hak memilih posisi kerja, hak kepastian kerja, hak upah, jaminan kesehatan dan perlindungan serta hak berserikat.
Akan tetapi, menurut Sri hak-hak ini tidak dipenuhi oleh para pengusaha. Bahkan di Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur perburuhan malah tidak menjamin perlindungan terhadap buruh itu sendiri. Sri menyebutkan dengan keadaan ini “industri ekstraktif berpotensi menciptakan kerja paksa dan perbudakan,” tandas Sri.
Menurut Sri di beberapa kelompok buruh lainnya seperti pada Buruh Harian Lepas (BHL) kondisi kesejahteraannya lebih buruk lagi. BHL ini sering mengalami beban kerja yang tinggi, tanpa disediakan alat pelindung saat bekerja, dan jaminan sosial seperti asuransi.
Unang Sunarno pun menambahkan, dalam industri ekstraktif ada banyak rintangan yang dihadapi oleh buruh. Sering terjadi pelanggaran hak-hak normatif pada buruh perkebunan. Contohnya di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang kondisinya lebih buruk karena hak normatifnya tidak dipenuhi. “Hak-hak nornatif seperti upah yang rendah, jam kerja yang panjang dan kebebasan berserikat itu diberangus,” ujar Unang.
Kondisi yang buruk juga terjadi pada perempuan yang bekerja sebagai buruh di industri ekstraktif. Menurut Mutiara Ika Pratiwi sering terjadi diskriminasi berbasis gender di buruh perkebunan. “karena perusahaan menghindari tanggung jawab dalam resiko kerja di perkebunan,” tambah Mutiara.
Hal ini dapat dilihat dari upah yang diberikan pada buruh perempuan. Perempuan selalu mendapatkan upah rendah ketika mereka bekerja di industri ekstraktif. Selain ketimpangan gaji, dalam lingkungan industri ekstraktif keamanan pada buruh perempuan masih rentan.
Pasalnya sistem pengawasan terhadap perusahaan ekstraktif yang terbilang masih minim. Menurut Mutiara hal ini terjadi karena lokasi perusahaan ekstraktif yang berada jauh. “Biasanya perusahaan ada di pedalaman hutan dan ini memperparah kerentanan keamanan buruh perempuan yang bekerja,” tandas Mutiara.
Dilema antara Buruh Industri Ekstraktif dengan Petani Lokal
Konflik juga terjadi bukan hanya antara buruh dengan pengusaha, melainkan juga antara buruh dengan petani lokal. Zidan berkaca dari masalah para petani sawit di Seruyan, Kalimantan Tengah. Para petani sawit yang menuntut PT. Hamparan Masawit Bangun Persada agar setuju dengan sistem Plasma yang 20%, nyatanya berpengaruh terhadap kehidupan para buruh.
Banyak buruh yang berasal dari luar wilayah membuat mereka tidak bekerja karena adanya insiden tersebut. Menurut Zidan, “ada situasi yang rumit ketika buruh dihadapkan dengan penutupan industri ekstraktif”. Para buruh amat bergantung hidupnya dengan aktivitas perusahaan tersebut.
Dilema ini hampir terjadi di wilayah-wilayah industri ekstraktif. Di satu sisi kehidupan petani lokal yang terganggu dengan adanya perusahaan di sisi lain ancaman pemutusan kerja juga sewaktu-waktu mengancam buruh yang bekerja di perusahaan.
Syarif Arifin mencoba mensintesiskan dua perbedaan kepentingan kelompok ini agar masuk dalam nafas perjuangan yang sama. Menurut Syarif isu yang dapat menyatukan buruh dan petani ada tiga. “Isu umum seperti BBM atau UUCK, solidaritas kasus, dan momentum bersama,” tambah Syarif.
Menurut Syarif seharusnya bentuk reforma agraria mesti diubah tuntutannya. “Bukan berbicara reklaiming tanah lagi tapi bisa diganti reklaim air,” kata Syarif. Selain hak mendapatkan air bersih hak atas perumahan yang layak juga bisa dimasukan dalam perjuangan buruh dan petani. “Artinya tuntutannya reform yang diperjuangkan itu berkaitan dengan isu dasar buruh dan petani,” tandas Syarif.